Minggu, 21 Juni 2015

Menanti Kejelasan Naskah Novel

I'm not trying to make anyone understands, I'm trying to make myself do

Sore itu matahari panas membakar bumi, langit cerah kebiruan, suasana hiruk pikuk di luar sana, keadaan yang selalu terlihat di halaman kantor.
Jam setengah dua, aku sudah menyelesaikan tugasku sejak sejam lalu, Rp. 104.201.000 sudah balance ke dalam sistem. Laporan sudah kubuat, hari itu aku memang sepertinya punya energy ekstra super, kerjaku luar biasa cepat dan teliti sekaliiiii hahaha
Supernya ini karena sesungguhnya aku sedang cemas, naskah novel yang kukirim sejak tiga bulan lalu belum juga mendapat jawaban dari penerbit, jangankan kabar, surat konfirmasi dari penerbit pun belum kuterima.
Padahal jelas-jelas sudah kulacak di track pengiriman barang di website jasa pengiriman itu, naskah novelku sudah diterima dua hari setelah kukirimkan, tepatnya, mereka menerima naskah novelku pada tanggal 9 maret 2015, jam setengah tiga kurang semenit.
Jadilah, beres dari kantor aku langsung cusss ke kantor penerbit itu.
"Pak, kantor *** di mana ya?" tanyaku pada seorang pedagang di luar Stasiun Palmerah
"Sebelah sana, itu, gedung yang tinggi."
"Yang itu? Tunjukku pada sebuah bangunan yang menjulang, bangunan pertama di antara deretan gedung yang menjulang tinggi.
"Bukan, di belakangnya,"
Aku mengangguk, lalu mempercepat langkahku menuju gedung itu. Jam setengah lima, rasa-rasanyanya orang kantor sudah pulang, tapi tidak ada yang bisa menghentikan tekadku. Sekali semangat, aku tak mau mundur.
Hari ini berjalan cepat, Jumat, hari kedua di bulan puasa. Aku menyelesaikan inputan ke sistem  sejam sebelum kepulangan, Rp. 104.201.000 balance, tidak ada yang salah. Tapi hatiku belum  juga tenang, pikiranku melayang pada naskah novelku tersayang—naskah novelku malang yang kukirim 3 bulan lalu, lebih malah, ke sebuah penerbit mayor di Jakarta.
Jadilah, sisa sejam itu kujadikan waktu untuk mondar-mandir ke sana kemari: hp ku low, tak bawa casan, kupaksa seorang teman mengambilkan chargernya untuk kupinjam, hahahha ini jahat. Lalu pagi tadi aku tidak membawa helm, biasanya bawa, hanya sekali itu aku tidak bawa karena malas bawa helm.
Maka kudatangi security yang berjaga, "Pak ada helm yang bisa dipinjam gak?"
Pak Novik, nama security itu mencari-cari dengan matanya, "Inventaris gak apa-apa deh pak, besok dibalikin," lanjutku.
"Lagi gak ada Mbak," katanya masih mencari-cari dengan raut muka serius.
"Yah, Rania mau ke stasiun Pak, penting banget," ujarku, kali ini meringis.
Pria hampir paruh baya itu menatapku, lalu mengambil satu helm di kolong mejanya, "Punya Pak Ali, pake aja," katanya, masih dengan raut wajah serius itu.
"Bener gak apa-apa, Pak?" tanyaku memastikan, pria itu mengangguk, kali ini tersenyum.
Masalah dua, aku gak bawa duit, maka kusahuti Devi, "Dev, ATM di sebelah itu cepean apa lima puluhan?"
"Lima puluhan, kenapa gitu? Kemarin si, Devi 50-an," jawabnya enteng, gadis dengan tinggi 168 cm itu memang selalu terlihat santai.
"Oh, oke."
Cus deh, langsung ke ATM, ambil uang secukupnya biar gak kesusahan di jalan. Lalu pas jam setengah tiga lebih dua menit absen pulang. Akhirnya jam setengah empat kurang aku dapat kereta jurusan Duri. Untuk ke Palmerah, aku harus turun di Stasiun Tanah Abang dan dari sana transit menuju Palmerah.
************
Sampailah aku di gedung yang tadi kucari: salah satu gedung pencakar langit tepat di belakang gedung yang kutunjuk tadi.  Di depan pintu itu ada gate lain semacam alat pendeteksi logam. Gate-nya sudah ditutup, kita tidak harus melewati gerbang pendeteksi logam itu. Saat menuju ke dalam, kulirik resepsionis di sebelah kiri.
Aku sama sekali tak berminat bertanya kepada resepsionis mengenai di mana sebenarnya ruangan yang akan kutuju, tidak sama sekali. bertanya pada resepsionis artinya kau akan ditanya mengenai,
1.       Mau ketemu dengan siapa?
2.       Sudah buat janji belum?

Dan kalau kau tidak punya jawaban yang baik untuk dua hal itu lebih baik tidak usah bertemu sekalian. Mentok-mentok dia pasti bilang, besok ke sini lagi aja ya, Mbak, hari ini sudah pulang.  dan waktuku gak banyak, besok belum tentu bisa ke sini lagi, bisa pulang jam setengah tiga aja udah kece badaii.
Maka dengan sotoinya gue naik lift, sok-sokan aja, ceritanya gue memang mengenal tempat itu dengan tepat, jalanku tidak kubuat lambat, supaya aku terlihat seperti orang yang memang punya kepentingan.
Hahaha. Sepertinya aku memang berbakat jadi detektif! Wkwkwk.
Sampai di lantai lima, setelah lepas dari lift berdinding cermin itu aku bingung. Di sebelah kiriku terdapat sebuah pintu kaca yang tertutup, bingkai pintu itu berwarna biru .
Ah, dua lift ini ternyata diapit oleh dua toilet, satu untuk pria dan satu untuk wanita, aku masuk ke toilet wanita. Kali ini aku harus bertanya pada seseorang, belum solat.
Seorang wanita keluar saat aku masuk, di sana masih ada satu lagi perempuan seumuranku, ia sedang mencuci tangan.
"Mbak, maaf, mushola di sebelah mana, ya?"
Wanita berwajah oriental itu mengalihkan pandangannya padaku, lalu berdesis pelan, "Sorry?"
Ah, rupanya dia gak paham bahasa Indonesia. Wajahnya memang sedikit oriental, tapi tadinya kukira dia orang Indonesia.
"I'm trying to find out a mushola, do you know mushola? It is kind of mosque, a place where muslim people make their prayer,"
Pelan dan ragu wanita itu mengangguk.
"You don’t have any id card like this?" katanya sambil menunjuk id card yang menggantung ke leher.
"Oh," jeda lama.
"I didn’t know whether it's important so I just came up here," baiklah, id card memang penting dalam aturan formal, dan aku tidak tau ini benar-benar penting dalam arti yang sebenarnya di gedung ini. Di kantor lamaku, penjagaan bahkan tidak dibuat seketat ini, orang luar cuma diminta pakai id card dengan cara menggadaikan ktp nya di meja resepsionis, lalu lewatin seorang security terus bisa masuk  dan hei, ini kan bukan kantor pusat data rahasia militer sebuah negara.
"It is important, you cannot pass the door, which is mean you cannot go inside the fifth floor if you don’t have any id card like this," katanya lagi, masih memegang id card nya.
"Oh, ya," aku mengangguk paham.
"And what are you doing here?!" lanjutku cepat, buseeet, itu kan pertanyaan yang seharusnya dia ajukan, bukan aku.
Maksud pertanyaanku adalah, apa yang dilakukan orang luar negeri ini di kantor penerbitan begini, KEPO ku gak abis-abis.
"Are you a foreigner?" lanjutku lagi.
Matanya bergerak cepat ke kiri dan ke kanan, kutafsirkan bahasa tubuhnya sebagai ekspresi bingung, lalu ia berkata pelan, "No,"
Ya ampun! jadi wanita ini sepertinya mengujiku. Dia menolak memberitahuku informasi apapun secara halus: dengan cara menggunakan bahasa yang berbeda. biar ngobrol kami gak nyambung, lalu pembicaraan terputus, cut! Cut! Habis!
"You are Indonesian and you cannot speak Bahasa Indonesia?!" ada tekanan di ujung kalimat ini. rasa sesal lalu membentuk siluet di batinku, rasanya pertanyaan itu kedengaran sarkastik meski aku tak memaksudkannya demikian.
"Here," katanya sambil berjalan ke luar. Aku mengikutinya, wanita itu lalu membukakan pintu toilet dan mendekat ke pintu yang terkunci menuju ruangan di lantai lima. Gadis itu lalu menempelkan id cardnya, membukakan pintunya untukku, lalu berkata, "Go ahead,"

Aku masuk lalu membatin yang mana kira-kira ruangan untuk naskah fiksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar