Minggu, 21 Juni 2015

Menanti Kejelasan Naskah Novel II

I'm not trying to make anyone understands, I'm trying to make myself do

Tak banyak orang berkeliaran di lantai lima sore itu, ini pasti sudah jam pulang kantor. Di kiri kanan koridor terdapat beberapa ruangan dengan tulisan coklat emas di dinding kayu dekat pintu. Warnanya coklat pekat.
Ruangan SDM, Ruangan Umum, dan macam-macam lagi.
Ada tulisan yang menyita perhatianku dalam salah satu ruangan itu, ruangan-ruangan yang terlihat umpama kelas, hanya saja kaca bagian bawahnya dibuat nge-blur, jadi aku hanya bisa melihat melalui bagian atas kaca. Dan di dinding dalam ruangan itu kulihat tulisan dengan bunyi begini, "Good is the Enemy of Great" di bawahnya ada tulisan kecil, sebuah nama kurasa, tapi tak bisa kulihat dengan jarak sejauh ini.
Keadaannya lebih terlihat seperti sekolah saat jam belajar, hening betul. Ada beberapa kertas yang dibentuk kotak-kotak yang ditempel seumpama lampu di atas lorong, warnanya biru dengan tulisan putih yang bunyinya tak kuingat. Ruangannya tertata rapi, sangat bersih, seperti sekolah. Bedanya, lorong ini punya karpet tebal.
Aku ke toilet lagi, kosong, kali ini tak ada yang bisa kutanyai.
Beranjak ke koridor tadi, seorang pria berkemeja berjalan di sana, kutahan langkahnya sebentar, lalu kutanya, "Mas, mushola di sebelah mana ya?"
"Yang ini," katanya tesenyum sambil menunjuk salah satu pintu berjarak beberapa ruangan di depan kami.
"Oh, iya," ada rak sandal di sana, seharusnya aku berjalan ke sana tadi.
Selesai solat, aku mengobrol dengan seorang wanita yang lagi-lagi tak tau di mana tempat penyimpanan naskah fiksi. Ini konyol, nyaris semua orang tak tau di mana tempatnya meski jelas-jelas kulihat di internet alamat redaksi itu ada di lantai lima!
Maka kuputuskan untuk turun lagi ke lantai tadi.
Lorong ini lagi-lagi sepi, setelah meneliti ruangan-ruangan itu dari luar dan berbalik untuk menuju pintu lantai lima, seorang pria berjalan keluar dari sebuah ruangan lain lalu menatapku, kami berjalan beriringan, mulanya, tapi jalannya agak lambat, jadi kusalip dan kudului saja, "Jangan-jangan ni orang curiga," batinku paranoid.
Eh, tapi sepatuku masih pantopel, aku baru pulang kantor juga, jadi seharusnya tampilanku gak membuatnya curiga.
Aku meraih pintu yang dibukakan oleh si gadis oriental tadi, dingdong! Gagal, kucoba lagi gagal, ini harus pake id card. Alamak!
Tak kehabisan harapan, kugoyang—goyangkan pegangan pintunya hingga berbunyi krak-krek krak-krek, tapi tetap gagal, adooooh, bijimana ini, daku terperangkap dalam ruangan asing dan gak bisa keluar!
Lalu si cowok tadi tiba-tiba udah di samping kiriku, pake acara tersenyum dulu, terus ngulurin tangannya dan nempelin kartu id card nya ke kotak di samping pintu.
Pintu terbuka, aku langsung keluar menuju lift, gak asik kalo dia nanya macem-macem soal id card.
Masuk lift, aku bingung tadi naeknya dari lantai satu atau lantai G atau lantai UG. Ampuuun, udah susah ngapal tempat, nekad lagi.
Pertimbangannya, gedung ini mengikuti struktur bangunan negara mana. Seingatku, ada negara barat yang menggunakan istilah "lantai 1" untuk menyebut lantai dua, dan menyebut lantai satunya sebagai lantai ground "G"
Sementara yang umum digunakan di banyak negara, lantai satu itu digunakan sebagai istilah untuk menyebut lantai yang sepadan dengan permukaan tanah.
Akhirnya kuputuskan turun di lantai satu.
Sepasang pria dan wanita masuk ke dalam lift, biar gak keliatan bingung dan potensial dicurigai, aku langsung keluar, dan hap!
Ruangannya salah.
Kutekan lagi tombol lift, tak lama pintu terbuka. Ada tiga orang di sana: dua wanita lain dengan baju batik, dan, pria berkemeja putih yang tadi membukakan pintu di lantai lima, pria itu tersenyum melihatku, aku melewatinya, lalu bersandar pada sisi yang sama dengannya.
Tak lama pintu terbuka. Yiaaaaahhh! Ini ruangannya! Yihaaaaa! Tandanya ada cermin di depan lift itu, dinding cermin, tepatnya.
Oia, sepertinya gedung ini diseting untuk menempatkan orang-orang perfeksionis di dalamnya, ada begitu banyak kaca di mana-mana, bahkan lift nya berdinding cermin.
Norak ya? Biarin, hahaha
Terus ceritanya sampai di bawah, meja resepsionis udah kosong, kutanya Pak Security, tempat naskah fiksi ada di mana? lama kami ngobrol ngalor-ngidul, sampai terpaksa kuceritakan juga kisi-kisi mengenai novelku, naskah malang yang sudah kukirim tiga bulan lalu, naskah yang seharusnya kuperjuangkaaaaaannn. Hiyat! Pake iket kepala dan pegang samurai wkwkwkwk.
"Penerbit ya?" tanyanya, aku mengangguk sambil bilang iya dengan antusias.
"Ooo, itu di sebelah sana, Mbak, dari sini lurus terus, nanti belok ke kanan mentok ada gedung, nah itu," katanya.
"Oh,"
Jadi gue SALAH GEDUNG.
Sebel banget, tapi Oke, baik.

Well, pas keluar gedung itu, si cowok yang bukain pintu tadi ternyata lagi duduk di bangku tepat di bawah pohon rindang. Perasaan pergerakannya cepet amat, lewat ekor mata kulihat dia menatapku. Sepertinya badan gue udah dilabeli perban "Suspected" kali ya, masuk ke kantor pusat data nasional tanpa id card hahaha. Dan perasaan ko' dia ada di mana-mana aja si, jadi inget judul film, "Dia Ada di Mana-Mana". FYI itu film horror, jadi memang gak match di sini, tapi sepertinya memang kuuudu hati-hati.
Bodo amat, jalan terus.
Sore ini jalanan penuh, mobil dan motor berebut jalan keluar gedung-gedung pencakar langit Jakarta, sudah lewat jam pulang kantor. Pejalan kaki bertebaran di mana-mana, tangan-tangan itu menenteng takjil, makanan buka puasa.
Aku meliuk sambil terus jalan, berusaha menghindari mobil atau motor atau bahkan orang-orang yang mengerumuni penjual makanan.
Pandanganku keleyengan, perjalanan hari ini lumayan, aku pun puasa. Tapi aku gak pusing, nggak sama sekali, tanpa makan dan minum sejak subuh, ditambah perjalanan panjang dalam keadaan panas terik, aku seharusnya pusing.
Tapi ini nggak.
Ini pasti energi yang disalurkan dari semangat itu. Semangat!!!!
Kukedip-kedipkan mata lagi sambil terus berjalan dengan cepat, kursi-kursi di pinggir trotoar keliatan berputar-putar.
Mataku betul-betul keleyengan…


Bersambung.

Menanti Kejelasan Naskah Novel

I'm not trying to make anyone understands, I'm trying to make myself do

Sore itu matahari panas membakar bumi, langit cerah kebiruan, suasana hiruk pikuk di luar sana, keadaan yang selalu terlihat di halaman kantor.
Jam setengah dua, aku sudah menyelesaikan tugasku sejak sejam lalu, Rp. 104.201.000 sudah balance ke dalam sistem. Laporan sudah kubuat, hari itu aku memang sepertinya punya energy ekstra super, kerjaku luar biasa cepat dan teliti sekaliiiii hahaha
Supernya ini karena sesungguhnya aku sedang cemas, naskah novel yang kukirim sejak tiga bulan lalu belum juga mendapat jawaban dari penerbit, jangankan kabar, surat konfirmasi dari penerbit pun belum kuterima.
Padahal jelas-jelas sudah kulacak di track pengiriman barang di website jasa pengiriman itu, naskah novelku sudah diterima dua hari setelah kukirimkan, tepatnya, mereka menerima naskah novelku pada tanggal 9 maret 2015, jam setengah tiga kurang semenit.
Jadilah, beres dari kantor aku langsung cusss ke kantor penerbit itu.
"Pak, kantor *** di mana ya?" tanyaku pada seorang pedagang di luar Stasiun Palmerah
"Sebelah sana, itu, gedung yang tinggi."
"Yang itu? Tunjukku pada sebuah bangunan yang menjulang, bangunan pertama di antara deretan gedung yang menjulang tinggi.
"Bukan, di belakangnya,"
Aku mengangguk, lalu mempercepat langkahku menuju gedung itu. Jam setengah lima, rasa-rasanyanya orang kantor sudah pulang, tapi tidak ada yang bisa menghentikan tekadku. Sekali semangat, aku tak mau mundur.
Hari ini berjalan cepat, Jumat, hari kedua di bulan puasa. Aku menyelesaikan inputan ke sistem  sejam sebelum kepulangan, Rp. 104.201.000 balance, tidak ada yang salah. Tapi hatiku belum  juga tenang, pikiranku melayang pada naskah novelku tersayang—naskah novelku malang yang kukirim 3 bulan lalu, lebih malah, ke sebuah penerbit mayor di Jakarta.
Jadilah, sisa sejam itu kujadikan waktu untuk mondar-mandir ke sana kemari: hp ku low, tak bawa casan, kupaksa seorang teman mengambilkan chargernya untuk kupinjam, hahahha ini jahat. Lalu pagi tadi aku tidak membawa helm, biasanya bawa, hanya sekali itu aku tidak bawa karena malas bawa helm.
Maka kudatangi security yang berjaga, "Pak ada helm yang bisa dipinjam gak?"
Pak Novik, nama security itu mencari-cari dengan matanya, "Inventaris gak apa-apa deh pak, besok dibalikin," lanjutku.
"Lagi gak ada Mbak," katanya masih mencari-cari dengan raut muka serius.
"Yah, Rania mau ke stasiun Pak, penting banget," ujarku, kali ini meringis.
Pria hampir paruh baya itu menatapku, lalu mengambil satu helm di kolong mejanya, "Punya Pak Ali, pake aja," katanya, masih dengan raut wajah serius itu.
"Bener gak apa-apa, Pak?" tanyaku memastikan, pria itu mengangguk, kali ini tersenyum.
Masalah dua, aku gak bawa duit, maka kusahuti Devi, "Dev, ATM di sebelah itu cepean apa lima puluhan?"
"Lima puluhan, kenapa gitu? Kemarin si, Devi 50-an," jawabnya enteng, gadis dengan tinggi 168 cm itu memang selalu terlihat santai.
"Oh, oke."
Cus deh, langsung ke ATM, ambil uang secukupnya biar gak kesusahan di jalan. Lalu pas jam setengah tiga lebih dua menit absen pulang. Akhirnya jam setengah empat kurang aku dapat kereta jurusan Duri. Untuk ke Palmerah, aku harus turun di Stasiun Tanah Abang dan dari sana transit menuju Palmerah.
************
Sampailah aku di gedung yang tadi kucari: salah satu gedung pencakar langit tepat di belakang gedung yang kutunjuk tadi.  Di depan pintu itu ada gate lain semacam alat pendeteksi logam. Gate-nya sudah ditutup, kita tidak harus melewati gerbang pendeteksi logam itu. Saat menuju ke dalam, kulirik resepsionis di sebelah kiri.
Aku sama sekali tak berminat bertanya kepada resepsionis mengenai di mana sebenarnya ruangan yang akan kutuju, tidak sama sekali. bertanya pada resepsionis artinya kau akan ditanya mengenai,
1.       Mau ketemu dengan siapa?
2.       Sudah buat janji belum?

Dan kalau kau tidak punya jawaban yang baik untuk dua hal itu lebih baik tidak usah bertemu sekalian. Mentok-mentok dia pasti bilang, besok ke sini lagi aja ya, Mbak, hari ini sudah pulang.  dan waktuku gak banyak, besok belum tentu bisa ke sini lagi, bisa pulang jam setengah tiga aja udah kece badaii.
Maka dengan sotoinya gue naik lift, sok-sokan aja, ceritanya gue memang mengenal tempat itu dengan tepat, jalanku tidak kubuat lambat, supaya aku terlihat seperti orang yang memang punya kepentingan.
Hahaha. Sepertinya aku memang berbakat jadi detektif! Wkwkwk.
Sampai di lantai lima, setelah lepas dari lift berdinding cermin itu aku bingung. Di sebelah kiriku terdapat sebuah pintu kaca yang tertutup, bingkai pintu itu berwarna biru .
Ah, dua lift ini ternyata diapit oleh dua toilet, satu untuk pria dan satu untuk wanita, aku masuk ke toilet wanita. Kali ini aku harus bertanya pada seseorang, belum solat.
Seorang wanita keluar saat aku masuk, di sana masih ada satu lagi perempuan seumuranku, ia sedang mencuci tangan.
"Mbak, maaf, mushola di sebelah mana, ya?"
Wanita berwajah oriental itu mengalihkan pandangannya padaku, lalu berdesis pelan, "Sorry?"
Ah, rupanya dia gak paham bahasa Indonesia. Wajahnya memang sedikit oriental, tapi tadinya kukira dia orang Indonesia.
"I'm trying to find out a mushola, do you know mushola? It is kind of mosque, a place where muslim people make their prayer,"
Pelan dan ragu wanita itu mengangguk.
"You don’t have any id card like this?" katanya sambil menunjuk id card yang menggantung ke leher.
"Oh," jeda lama.
"I didn’t know whether it's important so I just came up here," baiklah, id card memang penting dalam aturan formal, dan aku tidak tau ini benar-benar penting dalam arti yang sebenarnya di gedung ini. Di kantor lamaku, penjagaan bahkan tidak dibuat seketat ini, orang luar cuma diminta pakai id card dengan cara menggadaikan ktp nya di meja resepsionis, lalu lewatin seorang security terus bisa masuk  dan hei, ini kan bukan kantor pusat data rahasia militer sebuah negara.
"It is important, you cannot pass the door, which is mean you cannot go inside the fifth floor if you don’t have any id card like this," katanya lagi, masih memegang id card nya.
"Oh, ya," aku mengangguk paham.
"And what are you doing here?!" lanjutku cepat, buseeet, itu kan pertanyaan yang seharusnya dia ajukan, bukan aku.
Maksud pertanyaanku adalah, apa yang dilakukan orang luar negeri ini di kantor penerbitan begini, KEPO ku gak abis-abis.
"Are you a foreigner?" lanjutku lagi.
Matanya bergerak cepat ke kiri dan ke kanan, kutafsirkan bahasa tubuhnya sebagai ekspresi bingung, lalu ia berkata pelan, "No,"
Ya ampun! jadi wanita ini sepertinya mengujiku. Dia menolak memberitahuku informasi apapun secara halus: dengan cara menggunakan bahasa yang berbeda. biar ngobrol kami gak nyambung, lalu pembicaraan terputus, cut! Cut! Habis!
"You are Indonesian and you cannot speak Bahasa Indonesia?!" ada tekanan di ujung kalimat ini. rasa sesal lalu membentuk siluet di batinku, rasanya pertanyaan itu kedengaran sarkastik meski aku tak memaksudkannya demikian.
"Here," katanya sambil berjalan ke luar. Aku mengikutinya, wanita itu lalu membukakan pintu toilet dan mendekat ke pintu yang terkunci menuju ruangan di lantai lima. Gadis itu lalu menempelkan id cardnya, membukakan pintunya untukku, lalu berkata, "Go ahead,"

Aku masuk lalu membatin yang mana kira-kira ruangan untuk naskah fiksi.