Sore itu matahari panas membakar bumi, langit cerah
kebiruan, suasana hiruk pikuk di luar sana, keadaan yang selalu terlihat di
halaman kantor.
Jam setengah dua, aku sudah menyelesaikan tugasku sejak
sejam lalu, Rp. 104.201.000 sudah balance ke dalam sistem. Laporan sudah
kubuat, hari itu aku memang sepertinya punya energy ekstra super, kerjaku luar
biasa cepat dan teliti sekaliiiii hahaha
Supernya ini karena sesungguhnya aku sedang cemas, naskah
novel yang kukirim sejak tiga bulan lalu belum juga mendapat jawaban dari
penerbit, jangankan kabar, surat konfirmasi dari penerbit pun belum kuterima.
Padahal jelas-jelas sudah kulacak di track pengiriman
barang di website jasa pengiriman itu, naskah novelku sudah diterima dua hari
setelah kukirimkan, tepatnya, mereka menerima naskah novelku pada tanggal 9
maret 2015, jam setengah tiga kurang semenit.
Jadilah, beres dari kantor aku langsung cusss ke kantor
penerbit itu.
"Pak, kantor *** di mana ya?" tanyaku pada
seorang pedagang di luar Stasiun Palmerah
"Sebelah sana, itu, gedung yang tinggi."
"Yang itu? Tunjukku pada sebuah bangunan yang
menjulang, bangunan pertama di antara deretan gedung yang menjulang tinggi.
"Bukan, di belakangnya,"
Aku mengangguk, lalu mempercepat langkahku menuju gedung
itu. Jam setengah lima, rasa-rasanyanya orang kantor sudah pulang, tapi tidak
ada yang bisa menghentikan tekadku. Sekali semangat, aku tak mau mundur.
Hari ini berjalan cepat, Jumat, hari kedua di bulan puasa. Aku
menyelesaikan inputan ke sistem sejam
sebelum kepulangan, Rp. 104.201.000 balance, tidak ada yang salah. Tapi hatiku
belum juga tenang, pikiranku melayang
pada naskah novelku tersayang—naskah novelku malang yang kukirim 3 bulan lalu,
lebih malah, ke sebuah penerbit mayor di Jakarta.
Jadilah, sisa sejam itu kujadikan waktu untuk mondar-mandir
ke sana kemari: hp ku low, tak bawa casan, kupaksa seorang teman mengambilkan
chargernya untuk kupinjam, hahahha ini jahat. Lalu pagi tadi aku tidak membawa
helm, biasanya bawa, hanya sekali itu aku tidak bawa karena malas bawa helm.
Maka kudatangi security yang berjaga, "Pak ada helm
yang bisa dipinjam gak?"
Pak Novik, nama security itu mencari-cari dengan matanya,
"Inventaris gak apa-apa deh pak, besok dibalikin," lanjutku.
"Lagi gak ada Mbak," katanya masih mencari-cari
dengan raut muka serius.
"Yah, Rania mau ke stasiun Pak, penting banget,"
ujarku, kali ini meringis.
Pria hampir paruh baya itu menatapku, lalu mengambil satu
helm di kolong mejanya, "Punya Pak Ali, pake aja," katanya, masih
dengan raut wajah serius itu.
"Bener gak apa-apa, Pak?" tanyaku memastikan,
pria itu mengangguk, kali ini tersenyum.
Masalah dua, aku gak bawa duit, maka kusahuti Devi, "Dev,
ATM di sebelah itu cepean apa lima puluhan?"
"Lima puluhan, kenapa gitu? Kemarin si, Devi
50-an," jawabnya enteng, gadis dengan tinggi 168 cm itu memang selalu
terlihat santai.
"Oh, oke."
Cus deh, langsung ke ATM, ambil uang secukupnya biar gak
kesusahan di jalan. Lalu pas jam setengah tiga lebih dua menit absen pulang. Akhirnya
jam setengah empat kurang aku dapat kereta jurusan Duri. Untuk ke Palmerah, aku
harus turun di Stasiun Tanah Abang dan dari sana transit menuju Palmerah.
************
Sampailah aku di gedung yang tadi kucari: salah satu gedung
pencakar langit tepat di belakang gedung yang kutunjuk tadi. Di depan
pintu itu ada gate lain semacam alat pendeteksi logam. Gate-nya sudah
ditutup, kita tidak harus melewati gerbang pendeteksi logam itu. Saat menuju ke
dalam, kulirik resepsionis di sebelah kiri.
Aku sama sekali tak
berminat bertanya kepada resepsionis mengenai di mana sebenarnya ruangan yang
akan kutuju, tidak sama sekali. bertanya pada resepsionis artinya kau akan ditanya
mengenai,
1.
Mau ketemu dengan siapa?
2.
Sudah buat janji belum?
Dan kalau kau tidak punya jawaban yang baik
untuk dua hal itu lebih baik tidak usah bertemu sekalian. Mentok-mentok dia
pasti bilang, besok ke sini lagi aja ya, Mbak, hari ini sudah pulang. dan waktuku gak banyak, besok belum tentu bisa
ke sini lagi, bisa pulang jam setengah tiga aja udah kece badaii.
Maka dengan sotoinya gue naik
lift, sok-sokan aja, ceritanya gue memang mengenal tempat itu dengan tepat,
jalanku tidak kubuat lambat, supaya aku terlihat seperti orang yang memang
punya kepentingan.
Hahaha. Sepertinya aku memang berbakat jadi
detektif! Wkwkwk.
Sampai di lantai lima, setelah
lepas dari lift berdinding cermin itu aku bingung. Di sebelah kiriku terdapat
sebuah pintu kaca yang tertutup, bingkai pintu itu berwarna biru .
Ah, dua lift ini ternyata diapit
oleh dua toilet, satu untuk pria dan satu untuk wanita, aku masuk ke toilet
wanita. Kali ini aku harus bertanya pada seseorang, belum solat.
Seorang wanita keluar saat aku
masuk, di sana masih ada satu lagi perempuan seumuranku, ia sedang mencuci
tangan.
"Mbak, maaf, mushola di
sebelah mana, ya?"
Wanita berwajah oriental itu
mengalihkan pandangannya padaku, lalu berdesis pelan, "Sorry?"
Ah, rupanya dia gak paham bahasa
Indonesia. Wajahnya memang sedikit oriental, tapi tadinya kukira dia orang Indonesia.
"I'm trying to find out a
mushola, do you know mushola? It is kind of mosque, a place where muslim people
make their prayer,"
Pelan dan ragu wanita itu
mengangguk.
"You don’t have any id card
like this?" katanya sambil menunjuk id card yang menggantung ke leher.
"Oh," jeda lama.
"I didn’t know whether it's
important so I just came up here," baiklah, id card memang penting dalam
aturan formal, dan aku tidak tau ini benar-benar penting dalam arti yang
sebenarnya di gedung ini. Di kantor lamaku, penjagaan bahkan tidak dibuat seketat
ini, orang luar cuma diminta pakai id card dengan cara menggadaikan ktp nya di
meja resepsionis, lalu lewatin seorang security terus bisa masuk dan hei, ini kan bukan kantor pusat data
rahasia militer sebuah negara.
"It is important, you cannot
pass the door, which is mean you cannot go inside the fifth floor if you don’t have
any id card like this," katanya lagi, masih memegang id card nya.
"Oh, ya," aku mengangguk
paham.
"And what are you doing
here?!" lanjutku cepat, buseeet, itu kan pertanyaan yang seharusnya dia
ajukan, bukan aku.
Maksud pertanyaanku adalah, apa
yang dilakukan orang luar negeri ini di kantor penerbitan begini, KEPO ku gak
abis-abis.
"Are you a foreigner?"
lanjutku lagi.
Matanya bergerak cepat ke kiri dan
ke kanan, kutafsirkan bahasa tubuhnya sebagai ekspresi bingung, lalu ia berkata
pelan, "No,"
Ya ampun! jadi wanita ini
sepertinya mengujiku. Dia menolak memberitahuku informasi apapun secara halus: dengan
cara menggunakan bahasa yang berbeda. biar ngobrol kami gak nyambung, lalu
pembicaraan terputus, cut! Cut! Habis!
"You are Indonesian and you
cannot speak Bahasa Indonesia?!" ada tekanan di ujung kalimat ini. rasa
sesal lalu membentuk siluet di batinku, rasanya pertanyaan itu kedengaran
sarkastik meski aku tak memaksudkannya demikian.
"Here," katanya sambil
berjalan ke luar. Aku mengikutinya, wanita itu lalu membukakan pintu toilet dan
mendekat ke pintu yang terkunci menuju ruangan di lantai lima. Gadis itu lalu
menempelkan id cardnya, membukakan pintunya untukku, lalu berkata, "Go
ahead,"
Aku masuk lalu membatin yang mana
kira-kira ruangan untuk naskah fiksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar