After the Winter
OLEH: SITI MASLIAH HAYATI
Tahun-tahun
berlalu dan kami tidak lagi saling menyapa, aku dengan kehidupanku, ia dengan kehidupannya, lalu
kami dengan kehidupan kami masing-masing. sepuluh tahun berlalu dan tahun-tahun
itu selalu terasa seperti musim dingin, umurku masih 18 tahun waktu itu…. Jane, bagaimana tampangnya sekarang? Apa
yang akan dilakukannya jika melihatku? Setelah 10 tahun kami terpisah satu sama
lain? …bagaimana reaksinya nanti kalau tau aku berjilbab sekarang? Apa ia
merindukanku seperti aku merindukannya?
Hening… hembusan napasku mengepul sesekali,
membuyarkan udara dingin untuk sedetik. Pucuk dedaunan mulai terlihat siang ini.
*****
Jalanan
masih dipenuhi oleh salju yang kian menumpuk, suhu di luar sana pasti dingin
sekali, kutebak sekitar 6oC, embun pagi mengeras di bingkai jendela,
air kolam terlihat lebih beku, aliran airnya terlihat lebih diam, nyaris seperti beku. Aku mengemasi barang-barangku sementara
Janette masih diam, entah apa
yang ditunggunya.
“Jane,
pakaianmu harus segera kau bereskan. M. Louis akan menyuruh Aston membuang
barang-barangmu kalau kau tidak merapikannya lebih dulu,” aku memperingatkannya sementara tanganku merapikan baju ke dalam koper.
Ini akan jadi hari terakhir kami di sini, meninggalkan sisa setahun kenangan
bersama orang tua kami.
“Hhuff...
tentu.… Roan, apa kau pikir kita akan menemukan tempat tinggal baru yang normal
jika kita keluar dari tempat ini, maksudku au
jourd hui?”
“aku
tidak yakin, jika yang kau maksud dengan ‘yang normal’ itu selain rumah Bapa. Satu-satunya
yang kuyakini saat ini adalah kita harus keluar hari ini, mantenant. Comprene?”
“Ck,
aku benci ini, mereka tau di luar dingin sekali. Aku tidak mau keluar.”
“Kita
harus.”
“Aku
tetap tidak mau.”
Hening.
Aku memandang mata adikku lurus-lurus. “Kita harus Jane,” ulangku meyakinkannya selembut mungkin, Janette memalingkan wajahnya
malas.
Akhir
November tahun ini musim salju sering turun dengan lebatnya, sejak semalam
hingga pagi ini salju tidak berhenti turun, sementara pagi ini kami tidak punya
pilihan. Masa sewa kami di rumah petak ini berakhir kemarin sore dan siang
nanti seorang penghuni baru akan menempati rumah ini. Ia, sang penghuni baru
rela membayar sewa dua kali lipat dari yang biasa kami bayar.
‘Tok…
tok… tok…’ pintu diketuk berirama. “Lima
belas menit lagi, aku harus sudah melihat kalian di halaman, tidak ada lagi
kompromi. Kuperingatkan dan tolong hargai kebaikanku.” Suara berat khas M. Aston,
salah satu pelayan Monsieur Louis—sang pemilik rumah sewa—menyapa kami dingin.
“Kau
cerewet sekali,” aku mendesis pelan,
“Setidaknya
ia mengijinkan kita tinggal sehari lebih lama, kau tidak boleh mengumpat
seperti itu.” Janette masih memalingkan wajahnya. Suaranya terdengar mengambang
dan pelan. Matanya mungkin menatap jauh keluar jendela.
“Yeah…
bagus kau mengerti, kalau begitu cepat bereskan barang-barangmu. Ia bilang kita
harus menghargai kebaikannya. Kau dengar itu tadi?” Aku melihatnya lagi
sekilas, ia bergeming.
Hening.
“Janette…
aku tidak mau kita diusir. Tolong, kita harus berkemas sekarang.”
“Apa
kita tidak bisa menegoisasikannya lagi dan bilang kita akan membayar lebih mahal?
Maksudku, apa kita tidak bisa melakukan hal yang sama dengan penghuni brengsek
yang akan menempati rumah kita? Bisa saja ada penghuni lain di bangunan ini
yang membayar sewa lebih rendah dari kita. Aku tidak tau tapi kurasa ada
sesuatu yang harusnya bisa kita lakukan… tolong Roan, kau kakakku. Lakukan
sesuatu… kau tau aku tidak suka dingin…” ia menatapku sekarang, matanya iba.
Aku menghampirinya, duduk di sebelahnya dan memeluknya. Berharap bisa menyerap
kegelisahan Jane. Hening.
“Aku
tau ini berat…. Dan terasa lebih berat karena aku tak mampu membuatmu lebih
kuat… sebenarnya ini membuatku muak, kau tau? Aku ingin menunggu si penghuni
baru yang sombong dan menendang bokongnya lalu menyumpahinya sampai—entah
kenapa—tiba-tiba ia berlutut dan bilang ohh…
baiklah, kalian ternyata adalah orang-orang yang sangat baik, kalian tidak
seharusnya keluar dari rumah murahan ini. Aku akan mencari rumah lain yang jauh
lebih mahal dan bila perlu aku akan membeli apartemen saja… hahh! Itu
mustahil, sekarang melihat rambutnya saja aku akan muntah… jangan khawatir kita
akan baik-baik saja Jane, kita akan mencari rumah baru yang lebih baik, kita hanya
harus melewati ini…. Kita bisa…. Tinggal di gereja dan menjadi biarawati kalau
kau juga bersedia. Bapa pasti akan senang.” aku tersenyum meyakinkannya.
“Kita
tidak mau jadi biarawati.” Jane memotong kalimatku cepat.
“…
Aku akan berkemas lebih cepat dari yang kau bayangkan, lima menit lagi, beri
aku lima menit untuk menikmati udara hangat di kamar ini.” Lanjutnya, kali ini
tersenyum.
Aku
mengangguk, “Oui, aku akan menurunkan kopermu”
“Merci
beaucoup…. Tapi kau tidak perlu merapikan bajuku, aku sudah harus melakukannya
sendiri.” Senyumnya terlihat lebih
cerah. Aku mengangguk lagi. Terlalu berat bagiku dan Jane meninggalkan rumah
ini. Petak ini sudah kami tempati sejak—tak kurang dari 6 tahun yang lalu. Umur
Jane masih sembilan tahun waktu itu, kami tinggal berempat bersama orang tua
kami… sayangnya Tuhan mengambil orang tua yang kami cintai pada tahun
berikutnya. Saat bus yang membawa serta mereka masuk ke jurang pada pertengahan
musim dingin.
Mulai
saat itu, ketika umurku 13 biaya sewa kami ditanggung Bapa Timothy, seorang Pastour
terkemuka di gereja St. Paulus, sekitar 2 km dari tempat kami tinggal. Itu
berlangsung hingga tak kurang dari 4 tahun, sampai kami dianggap mandiri secara
hukum.
‘Tok,
tok, tok.’ “Heiii!” pintu diketuk keras. Mataku membelalak menatap Jane, bagai
disambar petir ia bangun dan dengan cepat meraih kopernya. Pintu terbuka, tuan
Aston membawa serta dua orang yang tinggi besar, bodyguard-nya. Oush, ia tidak
perlu sampai melakukan ini; membawa bodyguard-bodyguard tinggi-besar untuk
menghadapi dua perempuan tak berdaya.
“Cuiiihh!
Sudah kuduga kalian akan melakukan ini. Aku berbaik hati pada kalian dan ini
balasannya?! Hei kau! Kapan kau akan berkemas?” tudingnya pada Jane kasar. “kau
akan membuat peghuni baru muak! Aku tidak ingin tuan Sunil mendapatkan kesan ia
tidak diterima di sini, sekarang berkemas atau, hhhh!…. aku kan sudah
memperingatkanmu sejak kemarin? Berarti aku tidak punya pilihan lain sekarang.
Hei kalian berdua! Lempar semua barang murahan yang tidak layak berada di kamar
ini.” kedua orang bodyguard itu melakukan tugasnya dengan baik, mereka
melemparkan barang-barang dalam lemari kemana saja keluar ruangan ini, keluar
jendela—yang beberapa saat lalu mereka buka, keluar pintu, kemana saja. Kami
menangis sejadi-jadinya, berteriak, meringis. Dan semuanya terjadi begitu saja,
tangisan kami tidak merubah apa-apa kecuali dinding-dinding yang kini terlihat
lebih pucat dari biasanya, mereka mungkin iba melihat kami.
******
Rasanya baru kemarin
peristiwa-peristiwa itu terjadi; saat tuan Aston mengusir kami, saat tangisan
Jane mengiris membrane tymphani-ku, saat
Jane memalingkan wajahnya, senyum Jane saat kuambilkan kopernya. Masih segar dalam ingatanku saat Jane merengek
minta bergabung dengan sebuah kelompok sirkus dari Irlandia. Aku termangu lagi,
mengizinkannya untuk pergi itu
benar-benar keputusan paling bodoh yang pernah
kubuat. Jane… tu me mangue… mataku menghangat. Air mataku berhamburan
keluar, mengingatnya membuatku semakin hilang kendali. Sesenggukan, kurasakan
pundakku berguncang semakin hebat saat mengingat matanya yang berbinar “tunggu ya, saat kembali nanti kau akan
kaget! Aku akan jadi orang sukses, aku akan membuat rumah besar jadi kita tidak
perlu membayar sewa lagi… tunggu, ya?.” aku tak kuat membayangkan senyumnya,
ia masih 15 tahun, Janette yang kemungkinan besarnya tidak akan kulihat lagi..!
ohh… kutelungkupkan kepalaku dan kututup mukaku rapat-rapat, kepalaku memberat.
Napasku sesak, hatiku menjerit kaku dan tak seorang pun mendengar... Jane….! Janette…! Janette!
“Roan, kau OK? …Madame Anne ingin kau
memeriksa kenyamanan tamu kita. Apa kau sudah mengecek semua keperluan
mereka dan memastikan mereka siap tampil?” sebuah suara menyengat lamunanku,
bayanganku buyar seketika. Sehar,
koordinatorku dalam acara ini berdiri tepat di samping kananku.
“Ya,
kami melakukannya sejak tadi dan bisa dipastikan mereka siap, insyaAllah.”
“Kalau
begitu tolong siapkan ruangan, mereka akan menggunakannya setelah melakukan
pertunjukan?”
“Tentu.”
“Mmh,
ya, satu lagi. Maaf, aku tidak suka kau meluapkan emosimu saat jam kerja, aku
bisa memakluminya tapi aku tidak menjamin yang lain akan melakukan hal yang
sama.” Senyumnya mengembang, manis dan berwibawa. Tak pernah berubah sejak
delapan tahun yang lalu.
Aku
mengangguk. Sehar adalah seniorku di restaurant Bon Apetite, perempuan
berjilbab itu yang membawaku kemari dan meyakinkan kepala pegawai bahwa mereka
bisa mempekerjakanku. Ia terlihat lebih sibuk, minggu ini kami mengadakan acara
amal. Aku bersama beberapa pegawai lain bertugas menyiapkan keperluan salah
satu bintang tamu dan menjamin kenyamanan mereka selama berada di sini.
*****
“Semuanya siap! Pentas mereka akan selesai sekitar lima belas menit lagi.”
Sebuah aba-aba membahana. Beberapa suara memenuhi ruangan yang akan digunakan
setelah bintang tamu ‘ClapsTour’—sebuah grup sirkus dari Irlandia—menyelesaikan
aksi panggungnya. Suasana terasa pengap dan kerjaku sudah selesai di sini, aku
keluar sebentar mengambil beberapa botol minuman. Musim salju masih
meninggalkan setitik dinginnya di udara. Aku baru saja menyisir satu-persatu
pemain dan membagikan minuman mereka, tepat jam lima nanti mereka akan
meninggalkan Bon Apetite. Diam-diam kuperhatikan mereka dari jauh, bayanganku
tertuju pada Janette. Kuperhatikan lagi dan nihil… yeah, tentu. Lagi kuamati
mereka satu-persatu, benar-benar berharap… caranya berdiri membuat salah satu
dari mereka terlihat seperti Jane.. hhh, sugestiku terlalu kuat.. Jane tidak
mungkin ada di sana. Aku berbalik untuk menyimpan botol-botol kosong. Sebentar lagi selesai, punggungku sakit
dan istirahat akan jadi obat yang baik.
“Maaf,
madame, apa aku bisa mendapatkan minumnya lagi? Temanku belum selesai saat kau
membagikannya tadi.” sebuah suara lembut menyapaku dari belakang, aku berbalik.
Salah seorang pemain yang cantik masuk ke ruang pandangku, kepalanya disanggul
sempurna, pakaiannya yang anggun membalut tubuhnya rapi, manis sekali.
“Tentu.”
Pemain itu tersenyum, berbalik, lalu menghampiri seseorang yang menggunakan
busana serupa. Allah Kariim..! tenggorokanku tercekat.
“….
Jane….” Lirihku parau. Otakku mengambang di ruang hampa, tubuhku membeku
sementara napasku makin memburu. Detik berlalu dan aku belum mampu
berkata-kata.
“JANE!!!” aku memekik sejadi-jadinya,
sorot matanya, caranya berdiri, senyumnya, semuanya. Semuanya! Ia Jane!!
Emosiku membuncah sempurna, kepalaku sakit, air mataku mengalir terlalu deras.
Jane..!!
Ia mematung lama, matanya mendelik ke
arahku tanpa ekspresi seolah bingung. Lalu dalam gerakan tiba-tiba ia menutup
mulut dengan tangannya sendiri, tubuhnya berguncang seolah menangis, kemudian
ia berlari menghambur ke arahku. Tubuhku berguncang hebat, gagap mulutku
menahan tangis… Jane… Janette-ku di sini! Janette-ku!
“Jane, tu
me mangue…!” kata-kataku ditelan isak kami. Janette tak mampu berkata-kata
lagi, tubuhnya berguncang keras memelukku. Sekali-dua kali tangannya membelai
kerudungku lembut. Ada begitu banyak cerita di masing-masing hati kami. Rindu.
Masih tak mampu berkata-kata kupandangi wajahnya haru, Jane tersenyum lepas
dalam tangis. ”Kau cantik sekali!” desisnya, matanya merah oleh air mata.
”Kukira kita tidak bisa bertemu lagi!” ia menangis, kali ini menyandarkan
kepalanya di pundakku.
Sesekali gadis itu menatapku dengan mata
merahnya, wajahnya yang pucat berubah merona oleh matahari sore. Matahari musim salju terakhir tenggelam meninggalkan kami, semburatnya menyisakan mega di ufuk barat. Damai,
awal musim semi kali ini begitu hangat.
*******
Alih bahasa:
Au jourd hui: hari ini
Maintenant,
comprene?: hari ini,
mengerti?
Tu me mangue: aku merindukanmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar