Sabtu, 09 Mei 2015

After the Winter

After the Winter

OLEH: SITI MASLIAH HAYATI



Tahun-tahun berlalu dan kami tidak lagi saling menyapa, aku dengan  kehidupanku, ia dengan kehidupannya, lalu kami dengan kehidupan kami masing-masing. sepuluh tahun berlalu dan tahun-tahun itu selalu terasa seperti musim dingin,  umurku masih 18 tahun waktu itu…. Jane, bagaimana tampangnya sekarang? Apa yang akan dilakukannya jika melihatku? Setelah 10 tahun kami terpisah satu sama lain? …bagaimana reaksinya nanti kalau tau aku berjilbab sekarang? Apa ia merindukanku seperti aku merindukannya?
Hening… hembusan napasku mengepul sesekali, membuyarkan udara dingin untuk sedetik. Pucuk dedaunan mulai terlihat siang ini.
*****
            Jalanan masih dipenuhi oleh salju yang kian menumpuk, suhu di luar sana pasti dingin sekali, kutebak sekitar 6oC, embun pagi mengeras di bingkai jendela, air kolam terlihat lebih beku, aliran airnya terlihat lebih diam, nyaris seperti beku. Aku mengemasi barang-barangku sementara Janette masih diam, entah apa yang ditunggunya.
            “Jane, pakaianmu harus segera kau bereskan. M. Louis akan menyuruh Aston membuang barang-barangmu kalau kau tidak merapikannya lebih dulu,” aku memperingatkannya sementara tanganku merapikan baju ke dalam koper. Ini akan jadi hari terakhir kami di sini, meninggalkan sisa setahun kenangan bersama orang tua kami.
            “Hhuff... tentu.… Roan, apa kau pikir kita akan menemukan tempat tinggal baru yang normal jika kita keluar dari tempat ini, maksudku au jourd hui?”
            “aku tidak yakin, jika yang kau maksud dengan ‘yang normal’ itu selain rumah Bapa. Satu-satunya yang kuyakini saat ini adalah kita harus keluar hari ini, mantenant. Comprene?”
            “Ck, aku benci ini, mereka tau di luar dingin sekali. Aku tidak mau keluar.”
            “Kita harus.”
            “Aku tetap tidak mau.”
            Hening. Aku memandang mata adikku lurus-lurus. “Kita harus Jane,” ulangku meyakinkannya selembut mungkin, Janette memalingkan wajahnya malas.
 Akhir November tahun ini musim salju sering turun dengan lebatnya, sejak semalam hingga pagi ini salju tidak berhenti turun, sementara pagi ini kami tidak punya pilihan. Masa sewa kami di rumah petak ini berakhir kemarin sore dan siang nanti seorang penghuni baru akan menempati rumah ini. Ia, sang penghuni baru rela membayar sewa dua kali lipat dari yang biasa kami bayar.
            ‘Tok… tok… tok…’ pintu diketuk berirama. “Lima belas menit lagi, aku harus sudah melihat kalian di halaman, tidak ada lagi kompromi. Kuperingatkan dan tolong hargai kebaikanku.” Suara berat khas M. Aston, salah satu pelayan Monsieur Louis—sang pemilik rumah sewa—menyapa kami dingin.
            “Kau cerewet sekali,” aku mendesis pelan,
            “Setidaknya ia mengijinkan kita tinggal sehari lebih lama, kau tidak boleh mengumpat seperti itu.” Janette masih memalingkan wajahnya. Suaranya terdengar mengambang dan pelan. Matanya mungkin menatap jauh keluar jendela.
            “Yeah… bagus kau mengerti, kalau begitu cepat bereskan barang-barangmu. Ia bilang kita harus menghargai kebaikannya. Kau dengar itu tadi?” Aku melihatnya lagi sekilas, ia bergeming.
Hening.
            “Janette… aku tidak mau kita diusir. Tolong, kita harus berkemas sekarang.”
            “Apa kita tidak bisa menegoisasikannya lagi dan bilang kita akan membayar lebih mahal? Maksudku, apa kita tidak bisa melakukan hal yang sama dengan penghuni brengsek yang akan menempati rumah kita? Bisa saja ada penghuni lain di bangunan ini yang membayar sewa lebih rendah dari kita. Aku tidak tau tapi kurasa ada sesuatu yang harusnya bisa kita lakukan… tolong Roan, kau kakakku. Lakukan sesuatu… kau tau aku tidak suka dingin…” ia menatapku sekarang, matanya iba. Aku menghampirinya, duduk di sebelahnya dan memeluknya. Berharap bisa menyerap kegelisahan Jane. Hening.
            “Aku tau ini berat…. Dan terasa lebih berat karena aku tak mampu membuatmu lebih kuat… sebenarnya ini membuatku muak, kau tau? Aku ingin menunggu si penghuni baru yang sombong dan menendang bokongnya lalu menyumpahinya sampai—entah kenapa—tiba-tiba ia berlutut dan bilang ohh… baiklah, kalian ternyata adalah orang-orang yang sangat baik, kalian tidak seharusnya keluar dari rumah murahan ini. Aku akan mencari rumah lain yang jauh lebih mahal dan bila perlu aku akan membeli apartemen saja… hahh! Itu mustahil, sekarang melihat rambutnya saja aku akan muntah… jangan khawatir kita akan baik-baik saja Jane, kita akan mencari rumah baru yang lebih baik, kita hanya harus melewati ini…. Kita bisa…. Tinggal di gereja dan menjadi biarawati kalau kau juga bersedia. Bapa pasti akan senang.” aku tersenyum meyakinkannya.
            “Kita tidak mau jadi biarawati.” Jane memotong kalimatku cepat.
            “… Aku akan berkemas lebih cepat dari yang kau bayangkan, lima menit lagi, beri aku lima menit untuk menikmati udara hangat di kamar ini.” Lanjutnya, kali ini tersenyum.
            Aku mengangguk, “Oui, aku akan menurunkan kopermu”
            “Merci beaucoup…. Tapi kau tidak perlu merapikan bajuku, aku sudah harus melakukannya sendiri.” Senyumnya terlihat lebih cerah. Aku mengangguk lagi. Terlalu berat bagiku dan Jane meninggalkan rumah ini. Petak ini sudah kami tempati sejak—tak kurang dari 6 tahun yang lalu. Umur Jane masih sembilan tahun waktu itu, kami tinggal berempat bersama orang tua kami… sayangnya Tuhan mengambil orang tua yang kami cintai pada tahun berikutnya. Saat bus yang membawa serta mereka masuk ke jurang pada pertengahan musim dingin.
            Mulai saat itu, ketika umurku 13 biaya sewa kami ditanggung Bapa Timothy, seorang Pastour terkemuka di gereja St. Paulus, sekitar 2 km dari tempat kami tinggal. Itu berlangsung hingga tak kurang dari 4 tahun, sampai kami dianggap mandiri secara hukum.
            ‘Tok, tok, tok.’ “Heiii!” pintu diketuk keras. Mataku membelalak menatap Jane, bagai disambar petir ia bangun dan dengan cepat meraih kopernya. Pintu terbuka, tuan Aston membawa serta dua orang yang tinggi besar, bodyguard-nya. Oush, ia tidak perlu sampai melakukan ini; membawa bodyguard-bodyguard tinggi-besar untuk menghadapi dua perempuan tak berdaya.
            “Cuiiihh! Sudah kuduga kalian akan melakukan ini. Aku berbaik hati pada kalian dan ini balasannya?! Hei kau! Kapan kau akan berkemas?” tudingnya pada Jane kasar. “kau akan membuat peghuni baru muak! Aku tidak ingin tuan Sunil mendapatkan kesan ia tidak diterima di sini, sekarang berkemas atau, hhhh!…. aku kan sudah memperingatkanmu sejak kemarin? Berarti aku tidak punya pilihan lain sekarang. Hei kalian berdua! Lempar semua barang murahan yang tidak layak berada di kamar ini.” kedua orang bodyguard itu melakukan tugasnya dengan baik, mereka melemparkan barang-barang dalam lemari kemana saja keluar ruangan ini, keluar jendela—yang beberapa saat lalu mereka buka, keluar pintu, kemana saja. Kami menangis sejadi-jadinya, berteriak, meringis. Dan semuanya terjadi begitu saja, tangisan kami tidak merubah apa-apa kecuali dinding-dinding yang kini terlihat lebih pucat dari biasanya, mereka mungkin iba melihat kami.

******
            Rasanya baru kemarin peristiwa-peristiwa itu terjadi; saat tuan Aston mengusir kami, saat tangisan Jane mengiris membrane tymphani-ku, saat Jane memalingkan wajahnya, senyum Jane saat kuambilkan kopernya. Masih segar dalam ingatanku saat Jane merengek minta bergabung dengan sebuah kelompok sirkus dari Irlandia. Aku termangu lagi, mengizinkannya untuk pergi itu benar-benar keputusan paling bodoh yang pernah kubuat. Jane… tu me mangue… mataku menghangat. Air mataku berhamburan keluar, mengingatnya membuatku semakin hilang kendali. Sesenggukan, kurasakan pundakku berguncang semakin hebat saat mengingat matanya yang berbinar “tunggu ya, saat kembali nanti kau akan kaget! Aku akan jadi orang sukses, aku akan membuat rumah besar jadi kita tidak perlu membayar sewa lagi… tunggu, ya?.” aku tak kuat membayangkan senyumnya, ia masih 15 tahun, Janette yang kemungkinan besarnya tidak akan kulihat lagi..! ohh… kutelungkupkan kepalaku dan kututup mukaku rapat-rapat, kepalaku memberat. Napasku sesak, hatiku menjerit kaku dan tak seorang pun mendengar... Jane….! Janette…! Janette!
           
“Roan, kau OK? …Madame Anne ingin kau memeriksa kenyamanan tamu kita. Apa kau sudah mengecek semua keperluan mereka dan memastikan mereka siap tampil?” sebuah suara menyengat lamunanku, bayanganku buyar seketika. Sehar, koordinatorku dalam acara ini berdiri tepat di samping kananku.
            “Ya, kami melakukannya sejak tadi dan bisa dipastikan mereka siap, insyaAllah.”
            “Kalau begitu tolong siapkan ruangan, mereka akan menggunakannya setelah melakukan pertunjukan?”  
“Tentu.”
            “Mmh, ya, satu lagi. Maaf, aku tidak suka kau meluapkan emosimu saat jam kerja, aku bisa memakluminya tapi aku tidak menjamin yang lain akan melakukan hal yang sama.” Senyumnya mengembang, manis dan berwibawa. Tak pernah berubah sejak delapan tahun yang lalu.
            Aku mengangguk. Sehar adalah seniorku di restaurant Bon Apetite, perempuan berjilbab itu yang membawaku kemari dan meyakinkan kepala pegawai bahwa mereka bisa mempekerjakanku. Ia terlihat lebih sibuk, minggu ini kami mengadakan acara amal. Aku bersama beberapa pegawai lain bertugas menyiapkan keperluan salah satu bintang tamu dan menjamin kenyamanan mereka selama berada di sini.
*****
            “Semuanya siap! Pentas mereka akan selesai sekitar lima belas menit lagi.” Sebuah aba-aba membahana. Beberapa suara memenuhi ruangan yang akan digunakan setelah bintang tamu ‘ClapsTour’—sebuah grup sirkus dari Irlandia—menyelesaikan aksi panggungnya. Suasana terasa pengap dan kerjaku sudah selesai di sini, aku keluar sebentar mengambil beberapa botol minuman. Musim salju masih meninggalkan setitik dinginnya di udara. Aku baru saja menyisir satu-persatu pemain dan membagikan minuman mereka, tepat jam lima nanti mereka akan meninggalkan Bon Apetite. Diam-diam kuperhatikan mereka dari jauh, bayanganku tertuju pada Janette. Kuperhatikan lagi dan nihil… yeah, tentu. Lagi kuamati mereka satu-persatu, benar-benar berharap… caranya berdiri membuat salah satu dari mereka terlihat seperti Jane.. hhh, sugestiku terlalu kuat.. Jane tidak mungkin ada di sana. Aku berbalik untuk menyimpan botol-botol kosong. Sebentar lagi selesai, punggungku sakit dan istirahat akan jadi obat yang baik.
            “Maaf, madame, apa aku bisa mendapatkan minumnya lagi? Temanku belum selesai saat kau membagikannya tadi.” sebuah suara lembut menyapaku dari belakang, aku berbalik. Salah seorang pemain yang cantik masuk ke ruang pandangku, kepalanya disanggul sempurna, pakaiannya yang anggun membalut tubuhnya rapi, manis sekali.
            “Tentu.” Pemain itu tersenyum, berbalik, lalu menghampiri seseorang yang menggunakan busana serupa. Allah Kariim..! tenggorokanku tercekat.
            “…. Jane….” Lirihku parau. Otakku mengambang di ruang hampa, tubuhku membeku sementara napasku makin memburu. Detik berlalu dan aku belum mampu berkata-kata.
“JANE!!!” aku memekik sejadi-jadinya, sorot matanya, caranya berdiri, senyumnya, semuanya. Semuanya! Ia Jane!! Emosiku membuncah sempurna, kepalaku sakit, air mataku mengalir terlalu deras. Jane..!!
Ia mematung lama, matanya mendelik ke arahku tanpa ekspresi seolah bingung. Lalu dalam gerakan tiba-tiba ia menutup mulut dengan tangannya sendiri, tubuhnya berguncang seolah menangis, kemudian ia berlari menghambur ke arahku. Tubuhku berguncang hebat, gagap mulutku menahan tangis… Jane… Janette-ku di sini! Janette-ku!
“Jane, tu me mangue…!” kata-kataku ditelan isak kami. Janette tak mampu berkata-kata lagi, tubuhnya berguncang keras memelukku. Sekali-dua kali tangannya membelai kerudungku lembut. Ada begitu banyak cerita di masing-masing hati kami. Rindu. Masih tak mampu berkata-kata kupandangi wajahnya haru, Jane tersenyum lepas dalam tangis. ”Kau cantik sekali!” desisnya, matanya merah oleh air mata. ”Kukira kita tidak bisa bertemu lagi!” ia menangis, kali ini menyandarkan kepalanya di pundakku.
Sesekali gadis itu menatapku dengan mata merahnya, wajahnya yang pucat berubah merona oleh matahari sore. Matahari musim salju terakhir tenggelam meninggalkan kami, semburatnya menyisakan mega di ufuk barat. Damai, awal musim semi kali ini begitu hangat.
*******

Alih bahasa:

Au jourd hui: hari ini
Maintenant, comprene?: hari ini, mengerti?

Tu me mangue: aku merindukanmu


Tidak ada komentar:

Posting Komentar