Tak banyak orang
berkeliaran di lantai lima sore itu, ini pasti sudah jam pulang kantor. Di kiri
kanan koridor terdapat beberapa ruangan dengan tulisan coklat emas di dinding
kayu dekat pintu. Warnanya coklat pekat.
Ruangan SDM, Ruangan
Umum, dan macam-macam lagi.
Ada tulisan yang
menyita perhatianku dalam salah satu ruangan itu, ruangan-ruangan yang terlihat
umpama kelas, hanya saja kaca bagian bawahnya dibuat nge-blur, jadi aku
hanya bisa melihat melalui bagian atas kaca. Dan di dinding dalam ruangan itu
kulihat tulisan dengan bunyi begini, "Good is the Enemy of Great" di
bawahnya ada tulisan kecil, sebuah nama kurasa, tapi tak bisa kulihat dengan
jarak sejauh ini.
Keadaannya lebih
terlihat seperti sekolah saat jam belajar, hening betul. Ada beberapa kertas
yang dibentuk kotak-kotak yang ditempel seumpama lampu di atas lorong, warnanya
biru dengan tulisan putih yang bunyinya tak kuingat. Ruangannya tertata rapi,
sangat bersih, seperti sekolah. Bedanya, lorong ini punya karpet tebal.
Aku ke toilet lagi,
kosong, kali ini tak ada yang bisa kutanyai.
Beranjak ke koridor
tadi, seorang pria berkemeja berjalan di sana, kutahan langkahnya sebentar,
lalu kutanya, "Mas, mushola di sebelah mana ya?"
"Yang ini,"
katanya tesenyum sambil menunjuk salah satu pintu berjarak beberapa ruangan di
depan kami.
"Oh, iya,"
ada rak sandal di sana, seharusnya aku berjalan ke sana tadi.
Selesai solat, aku
mengobrol dengan seorang wanita yang lagi-lagi tak tau di mana tempat
penyimpanan naskah fiksi. Ini konyol, nyaris semua orang tak tau di mana
tempatnya meski jelas-jelas kulihat di internet alamat redaksi itu ada di
lantai lima!
Maka kuputuskan untuk
turun lagi ke lantai tadi.
Lorong ini lagi-lagi
sepi, setelah meneliti ruangan-ruangan itu dari luar dan berbalik untuk menuju
pintu lantai lima, seorang pria berjalan keluar dari sebuah ruangan lain lalu
menatapku, kami berjalan beriringan, mulanya, tapi jalannya agak lambat, jadi
kusalip dan kudului saja, "Jangan-jangan ni orang curiga,"
batinku paranoid.
Eh, tapi sepatuku masih
pantopel, aku baru pulang kantor juga, jadi seharusnya tampilanku gak
membuatnya curiga.
Aku meraih pintu yang
dibukakan oleh si gadis oriental tadi, dingdong! Gagal, kucoba lagi gagal, ini
harus pake id card. Alamak!
Tak kehabisan
harapan, kugoyang—goyangkan pegangan pintunya hingga berbunyi krak-krek
krak-krek, tapi tetap gagal, adooooh, bijimana ini, daku terperangkap dalam
ruangan asing dan gak bisa keluar!
Lalu si cowok tadi
tiba-tiba udah di samping kiriku, pake acara tersenyum dulu, terus ngulurin
tangannya dan nempelin kartu id card nya ke kotak di samping pintu.
Pintu terbuka, aku
langsung keluar menuju lift, gak asik kalo dia nanya macem-macem soal id card.
Masuk lift, aku
bingung tadi naeknya dari lantai satu atau lantai G atau lantai UG. Ampuuun, udah
susah ngapal tempat, nekad lagi.
Pertimbangannya,
gedung ini mengikuti struktur bangunan negara mana. Seingatku, ada negara barat
yang menggunakan istilah "lantai 1" untuk menyebut lantai dua, dan
menyebut lantai satunya sebagai lantai ground "G"
Sementara yang umum
digunakan di banyak negara, lantai satu itu digunakan sebagai istilah untuk
menyebut lantai yang sepadan dengan permukaan tanah.
Akhirnya kuputuskan turun
di lantai satu.
Sepasang pria dan
wanita masuk ke dalam lift, biar gak keliatan bingung dan potensial dicurigai,
aku langsung keluar, dan hap!
Ruangannya salah.
Kutekan lagi tombol
lift, tak lama pintu terbuka. Ada tiga orang di sana: dua wanita lain dengan
baju batik, dan, pria berkemeja putih yang tadi membukakan pintu di lantai
lima, pria itu tersenyum melihatku, aku melewatinya, lalu bersandar pada sisi
yang sama dengannya.
Tak lama pintu
terbuka. Yiaaaaahhh! Ini ruangannya! Yihaaaaa! Tandanya ada cermin di depan
lift itu, dinding cermin, tepatnya.
Oia, sepertinya gedung
ini diseting untuk menempatkan orang-orang perfeksionis di dalamnya, ada begitu
banyak kaca di mana-mana, bahkan lift nya berdinding cermin.
Norak ya? Biarin,
hahaha
Terus ceritanya
sampai di bawah, meja resepsionis udah kosong, kutanya Pak Security, tempat naskah
fiksi ada di mana? lama kami ngobrol ngalor-ngidul, sampai terpaksa
kuceritakan juga kisi-kisi mengenai novelku, naskah malang yang sudah kukirim
tiga bulan lalu, naskah yang seharusnya kuperjuangkaaaaaannn. Hiyat! Pake iket
kepala dan pegang samurai wkwkwkwk.
"Penerbit ya?"
tanyanya, aku mengangguk sambil bilang iya dengan antusias.
"Ooo, itu di
sebelah sana, Mbak, dari sini lurus terus, nanti belok ke kanan mentok ada gedung,
nah itu," katanya.
"Oh,"
Jadi gue SALAH
GEDUNG.
Sebel banget, tapi Oke,
baik.
Well, pas keluar
gedung itu, si cowok yang bukain pintu tadi ternyata lagi duduk di bangku tepat
di bawah pohon rindang. Perasaan pergerakannya cepet amat, lewat ekor mata
kulihat dia menatapku. Sepertinya badan gue udah dilabeli perban
"Suspected" kali ya, masuk ke kantor pusat data nasional tanpa id
card hahaha. Dan perasaan ko' dia ada di mana-mana aja si, jadi inget judul
film, "Dia Ada di Mana-Mana". FYI itu film horror, jadi memang gak
match di sini, tapi sepertinya memang kuuudu hati-hati.
Bodo amat, jalan terus.
Sore ini jalanan
penuh, mobil dan motor berebut jalan keluar gedung-gedung pencakar langit Jakarta,
sudah lewat jam pulang kantor. Pejalan kaki bertebaran di mana-mana,
tangan-tangan itu menenteng takjil, makanan buka puasa.
Aku meliuk sambil
terus jalan, berusaha menghindari mobil atau motor atau bahkan orang-orang yang
mengerumuni penjual makanan.
Pandanganku keleyengan,
perjalanan hari ini lumayan, aku pun puasa. Tapi aku gak pusing, nggak sama sekali,
tanpa makan dan minum sejak subuh, ditambah perjalanan panjang dalam keadaan
panas terik, aku seharusnya pusing.
Tapi ini nggak.
Ini pasti energi yang
disalurkan dari semangat itu. Semangat!!!!
Kukedip-kedipkan mata
lagi sambil terus berjalan dengan cepat, kursi-kursi di pinggir trotoar
keliatan berputar-putar.
Mataku betul-betul
keleyengan…
Bersambung.